Indonesia Kurang Curang!

2 comments

Hey it's me again!

Kalau kita udah mulai ngomongin film Thailand, mereka emang gila sih.

Dulu gue pernah nonton Ong Bak, dari awal beli popcorn ampe film abis, itu cemilan gak kemakan saking deg-degannya dan distraksi horror yang intense di film kampret itu.

Start dari situ, gue sadar bahwa para film-maker Thailand gak bisa dianggap remeh, perlahan-lahan mereka mulai merangkak naik loh. Apakah mereka ingin menghabisi dinasti Bollywood?? HHAHAHA
kembali ke Bad Genius ....
Menurut gue, film ini bisa dibilang satu-satunya film terbaik sejauh yang gue tonton di sepanjang tahun 2017 ini. Bahkan film-filmnya Marvel aja lewat? I can say yes! Yatapi ngebandingin film ini sama Marvel emang nggak apple-to-apple, tapi since ini blog gue dan bisa ngomong seenak udel, marilah kita coba.

Marvel itu, ya bagus. Dari overall packaging aja gak mungkin orang gak suka film-filmnya Marvel. Dibikin penasaran, udah pasti. Dimanjain sama special effect dan teknologi green-screen yang aduhai, pastilah.

Lalu gimana review gue soal BAD GENIUS? Film ini justru gak muluk-muluk. Ambil aja konflik sederhana:
Curang itu tergantung dilihat dari mana. Who's agree?
source
Tokoh sentral di film ini; Lynn, si jago matematika yang sepertinya kalo lo tanya apa pun, dia pasti tahu jawabannya. Tapi walaupun pinter banget, kemampuan sosial Lynn nol besar. Sampe akhirnya di hari pertama pindahan sekolah, dia ketemu sama satu-satunya murid yang mau bertemen sama doi; Grace si tukang flirting. Ituuu lho yang mukanya mirip Maudy Ayunda.

Mulailah si Grace manfaatin soft spot Lynn; memohon agar Lynn mau bantu lulusin ujian dia. Muncullah stunt "Shoe & Eraser" yang super-keren di sini.

source
Udah mah tukang flirting, mulutnya ember. The perfect combo of Lambe Turah ini akhirnya tembus ke kuping Pat, anak tajir yang (entah kenapa mau) pacaran sama Grace, mengiming-imingi Lynn soal seberapa besar keuntungan yang bakal dia dapat kalo dia mau bantuin gengnya lulus ujian.

Terpojok keadaan finansial keluarga yang meresahkan, akhirnya Lynn setuju untuk menggadaikan isi otaknya untuk jadi "cheat-franchise". Tapi kali ini, mereka semua mulai bermain rapi.

Udah gak pake sepatu dan penghapus lagi, melainkan membuat suatu pola/formula pijitan not piano yang diwakili dengan jari, yang pengaplikasiannya mirip seperti kode morse. Ini keren gilak sih.

Sampe akhirnya Lynn ketemu lah dengan saingannya; Bank si murid baik-baik, pinter dan polos, mulai mengendus ketidak-beresan franchise yang lagi dikembangin Lynn. Nah, lho!
Cheating seems bad for business.
Lynn & Bank sebenernya sama-sama pinter, tapi punya satu perbedaan. Lynn ini dari lahir kayaknya emang udah jenius, sementara Bank pinter karena jago menghafal. Persamaannya, mereka sama-sama gak pandai menjalin pertemanan.

source
Lynn beruntung karena masih bisa sedikit opportunist, sementara Bank ini anaknya lurus banget. Sedih rasanya ketika Bank harus rela melunturkan seluruh prinsip hanya karena harus ikut 'aturan bermain', terpojok karena keadaan yang kurang beruntung.

Pasti sebagian besar dari kita pernah lah ngerasain drama tersebut pas jaman sekolah, membuat film ini makin berasa deket dengan keseharian dan real.

Menariknya, semua karakter yang ada di film ini sebenernya antagonis. Masing-masing dari mereka punya pokok permasalahan yang berbeda-beda, dengan motif dan rencana penyelesaian masalah yang berbeda-beda juga.

Orang yang sekelas Lynn, sang jago matematika pun, ternyata gak cukup pintar untuk menebak konsekuensi apa yang akan dihadapi dengan cheating business ini, dan meski dengan beberapa kali latihan, lynn cukup lihai berbohong, musuhnya hanyalah dirinya sendiri.

Sementara Bank meskipun pintar, harus rela dipukuli dan 'main kotor' karena terlalu naif.

Ekspansi dari konflik tersebut dikembangkan secara apik. Tentang bagaimana sebuah kepintaran diadu dengan harga masa depan, harga pertemanan, dan nasib keluarga.

Sampe akhirnya mereka sadar akan 'aturan bermain' yang eksis di dunia ini, di mana mereka mulai mempertanyakan fundamental belajar mereka :
Pinter aja gak cukup kalau gak bisa cari duit.
Konflik njelimet tersebut sukses dibungkus dengan aroma drama, script & teknik-teknik kamera minim special effect yang bikin kamu speechless. Kamu musti liat gimana sang kamera nge-shoot salah satu scene, di mana tangan lagi ngurek-ngurek pensil 2B di lembar jawaban.

Semua cast-nya juga gak kalah mantep, lucu-lucu hormonal ala-ala remaja, enerjik, dan digarap dengan angle kamera dari sudut pandang komikal yang bikin konflik di antara mereka makin lucu sekaligus menegangkan.

Semua porsi film digarap pas, dimulai dari pengenalan karakter dan konflik yang terungkap secara bertahap tapi gak ngasih kamu napas, lalu BOOM BOOM BOOM plotwist mulai bermunculan dengan delivery yang digarap sangat matang!

Gak perlu bikin film bersekuel dan special effect yang njelimet penuh hingar-bingar. Kasih aja kita konflik sederhana, simple, dekat dengan keseharian seolah kita pernah/mungkin aja ngerasain, dan teknik kamera serta cinematography yang kece.

Kalo soal satisfaction, gue rasa film ini adalah juaranya.  

Thumbnail:

2 comments:

  1. rasa-rasa "21" Jim Sturgess nggak? *komen ngawur yang penting komen

    ReplyDelete
    Replies
    1. Film itu juga salah satu yang punya story board gokil sih. Can't choose between one of them! Terima kasih sudah mampir!

      Delete