Source

Ambience. Ambience. Ambience.

Tadinya gue juga diajarin sama pacar tentang apa sih yang dia maksud dengan ambience itu. Jadi ambience (versi kita) adalah semacem rasa/atmosfir ketika kamu lagi dengerin lagu-lagu tertentu, terus kamu ngerasa terbawa dan langsung pingin ngapa-ngapain/melakukan aktifitas apaaaa gitu. Ehehehehehehehe.

Nggak jarang juga, ambience dari suatu lagu terkadang bisa bikin memori-memori lama kita akan sesuatu kembali muncul. Istilahnya time-lapse gitu lah. Jadii, apa aja sih lagu-lagu yang bikin gue time-lapse selama ini? Hmmm....
Perceraian, atau istilah kerennya divorce, memang seburuk-buruknya nasib rumah tangga. Dampak paling jeleknya, kita para anak, seolah kehilangan satu setir dan role-model.
Tapi tahu yang lebih jelek dari itu? Menyalahkan dan terus mengeluh atas segala keadaan yang terjadi seolah semuanya salah orang tua.

Meski secara fakta terbukti (mungkin) memang salah orang tua yang nggak sanggup mempertahankan, tetapi mengeluh dan blaming parents terus menerus di setiap aspek yang terjadi di diri kamu selanjutnya, jelas bukan solusi.

Dari situ, kamu mulai bertanya-tanya; gimana sih pondasi percintaan mereka dulunya?

Gimana sih ceritanya sampe kenapa baru sekarang mutusin buat nggak bertahan? Oke deh kalian nggak bisa pertahanin hubungan, tapi bisa kan pertahanin demi anak?

Hal-hal semacam itu lumrah, dan ketika kamu tanya hal tersebut, kamu harus siap sama jawabannya. (Karena menurutku, kalau pondasi sebuah hubungan memang kuat dan jelas sejak awal, berpisah bukan demi anak adalah hal terakhir yang bisa terlintas dipikiran mereka).

Divorce adalah nasib orang tua, bukan anak. Kamu masih bisa berjuang untuk masa depanmu yang lebih baik walaupun terpincang-pincang. Contoh kecilnya, mengusahakan hal yang terjadi pada ortu kamu, nggak terjadi dalam keluargamu kelak.


Gambar dari sini
Aku punya banyak kenalan yang ortunya divorce. Faktornya pun beragam, masalah orang ketiga, ada yang adu selingkuh, ada yang nggak tahu apa-apa karena pisahnya sejak masih kecil, dll.

In my view, mereka selalu terlihat depresi, gloomy, kayak mereka orang paling bernasib buruk sejagat. Bukannya salut dan bersimpati, malah jadi kasian. Karena mereka sedikit demi sedikit cuma menghambat masa depan mereka yang harusnya bisa lebih cerah.

I'll tell you why.

Ortuku juga divorce, 2004 silam. Sejak saat itu aku tahu, hidupku nggak akan sama lagi. Sejujurnya sih, pas di jaman divorce tersebut, aku nggak "sakit-sakit" amat karena pikiranku saat itu lagi getol-getolnya main game online :))

Sejak mereka terpisah, aku "dilempar" ke rumah eyang di Bandung. Karena menurut keluarga eyang aku terlalu visioner, aku mutusin bahwa memang nggak ada lagi kecocokan. Dimulailah perjalanan ngekos-ku dari tahun 2006 hingga sekarang.

Selama ngekos, hubunganku dengan orang tua susah banget buat deket. Akarnya: Berawal dari masalah ketidak-siapan kedua belah pihak soal biaya pengadilan, impactnya masih terasa/terbawa sampe masa-masa pasca-divorce dan bahkan sampai sekarang.

Keadaan itu bikin mereka jadi sangat money-oriented. Imbas dari chapter hidup yang terpecah-belah, mereka berpikir kestabilan finansial adalah kunci pertama merintis hidup baru. Dan pentingnya menjaga komunikasi dengan anak mungkin jadi prioritas kesekian saat itu.

However..

Karena gue secara hukum adalah tanggung jawab Bokap, akhirnya kita ngobrol kalo lagi ada masalah yang berhubungan dengan finansial aja. Selain itu nggak pernah, kalo pernah pun itu cuma by phone aja. Sementara nyokap, beliau sibuk merintis "chapter" barunya untuk mencoba survive sendiri di Jakarta.

Kekosongan luar biasa yang mulai kerasa selama itu, diisi oleh hingar-bingar jalan Cihampelas. Pertama kali banget hidup di Bandung nih ceritanya. Dimana saat itu, pertama kalinya aku berhadapan dengan sosialisasi secara langsung tanpa teori di lingkungan "asing". Iya, karena aku nggak supel, tapi gampang nyambung sama orang.

Aku belajar jaga diri, belajar jarang makan enak, tahu rasanya nggak megang duit, tahu rasanya megang duit banyak tapi langsung habis di tanggal tiga dan terpaksa dikejar-kejar orang warung karena kebanyakan ngutang nasi, aku digembleng habis-habisan sama lingkungan.

Sejenak, aku bisa lupa sama orang tuaku. Pikirku waktu itu, nggak ada gunanya kamu terus-terusan berharap sama ortu yang baru pada ngerilis chapter hidup masing-masing.  

You've got to move on.

Akhirnya di tahun 2014, nyokap tetap berusaha survive sendiri, dan Bokap pun udah punya perempuan baru yang bisa jaga beliau. Meski rasa kekosongan tersebut memang masih ada, nobody can fill it except my parents.

Tapi itu bikin aku sadar. Bahwa keadaan memaksaku untuk seperti ini. Dimana masing-masing dari kita; Bokap, Nyokap, dan aku adalah produk dari divorce, sedang berusaha untuk merintis chapter hidup baru masing-masing setelah apa yang terjadi. Dan masing-masing dari kita, nggak seharusnya "ngerecokin" chapter dari ketiga belah pihak yang lagi berusaha untuk dirintis.

Kupikir, masih lebih baik satu orang tertinggal, daripada satu orang ngerecokin orang yang lain, malah jadi dua orang yang tertinggal. Kecuali salah satu dari kita udah settle.
In the end, you still have to pay the price.
Sekarang aku jadi orang yang independen. Prinsip dan standar hidup yang terbentuk dari berbagai jenis lingkungan, grants me power to choosing any life with no hesitation.

Survive memang capek. Tetapi terkadang, ketika kamu merentang timeline survive dari dulu sampai sekarang, ya akhirnya memang itulah jalan yang harus kamu tempuh dan terima. Beruntungnya, aku nggak pernah ngeluh semenjak mereka divorce. Karena ngeluh cuma buat mereka yang mentalnya terbatas.

Ngeluh is such a waste.

Aku ngerti kok kalian yang nasibnya kurang beruntung selalu memposisikan diri sebagai victim. Nggak salah juga sih karena satu-satunya yang jadi korban divorce memang cuma anak. Cuman mau sampai kapan? Emangnya nggak pingin maju?
Keep blaming your parents doesn't brighten your future.
Source
Sekali lagi, nasib kamu nggak berhenti saat mereka divorce. Kamu masih bisa berusaha kok. Yang jadi penghalang adalah seberapa besar niat kamu buat mewujudkan visi yang kamu yakin itu membawa manfaat dan perubahan positif untuk kamu.

Aku mau share pengalaman dan tips kecil soal hal-hal yang kerap kali bikin down anak-anak divorce ketika mereka menjalani hidup setelahnya.

1. Kehilangan Role-Model

Krusial banget. Role-model menurutku, semacam orang yang akan selalu jadi panutan saat kehilangan arah. Orang yang selalu membekas di pikiran saat kita mulai ngerasa banyak melakukan kesalahan. Dan yang paling penting, role-model adalah desperate-weapon saat nggak punya tempat berpulang. You'll always need their wisdom.

Role-model seperti orangtua nggak akan pernah bisa tergantikan. Terlepas dari apa yang udah diperbuatnya, don't you ever forget your parents. They are the best couple you ever had.

Karena pengganti orangtua sulit banget buat dicari, kamu bisa nyari alternatifnya. Contoh, kamu bisa cari pacar yang (kebetulan) ortunya nggak ada masalah. Kalo kamu langgeng, ortu dia juga akan jadi ortumu juga kan? Punya pacar yang ortunya baik-baik aja aku pikir paling cocok sama anak divorce.

Bukan soal dapet pengganti ortu baru, tapi karena keadaan ortu pacar yang baik-baik aja, bisa jadi reminder bahwa kamu dulu pernah punya ortu sebaik mereka. Kemudian ortu kamu, bisa jadi contoh preventif untuk pacar kamu juga. You will benefits each other.

2. Takut Melangkah

Skill memilah mana baik-mana jelek sangat dibutuhkan disini. Karena lingkungan kan beragam banget, bisa aja bikin kamu mateng, bisa juga bikin kamu kesasar.

Contoh: Lingkungan sekolah, lingkungan pertemanan, lingkungan kantor, dll. Memang nggak bisa nggantiin ortu, tapi kalo kamu sering "mendonasikan" diri untuk menikmati lingkungan, bisa bikin kamu nggak terlalu kesepian, dan tambah-tambah pengalaman.

Kadang ada kejadian yang menurut kamu jelek, tapi ada benefitnya buat kamu eh' nggak dilakuin, dan ada kejadian dimana yang menurutmu bener, justru bikin nyesel di kemudian hari.

Value yang kamu dapet dari orangtua juga "ada main" disini. Semisal nasib kamu mirip-mirip aku, kamu akan berjuang untuk bikin "value baru" buat diri sendiri. Baru sehabis itu kamu kompromiin sama value yang didapet dari ortu.Be very careful for what you've choosen.

3. Kesepian

Make friends adalah solusi yang paling baik. Buat orang supel, hal ini nggak terlalu jadi masalah. Buat orang kuper, somehow bukan orangnya yang mereka cari, tapi kemistri interaksinya. Kamu perlu cari satu orang yang dependable, ngerti semua persoalan kamu dan bisa bantu kamu untuk lebih supel nyari temen yang lain. Go hang out, perluas networking kamu.

Tapi tetep, kalo kamu bisa cari orang yang lebih tua sebagai temen/mentor kamu, it worth a lot of friends.

Gimana dengan perihal nyari banyak kesibukan biar nggak kesepian? Nurut pengalaman aku, boleh aja. Tapi beberapa orang justru gagal karena mereka nggak pinter ngatur waktu, dan cenderung jadi pelampiasan semata, akhirnya jadi linglung sendiri. Kegiatan dan kesibukan kan' beda. Orang sibuk adalah orang yang nggak pinter ngatur waktu.

Tapi ya siapa yang tahu? Life can't reveals by itself. Kalau kamu bisa lebih survive dan mapan dari yang nggak divorce, big achievement banget dong? Divorce masih lebih baik daripada mereka yang menyia-nyiakan orang tua mereka (yang masih utuh).
Pic source
 Let me just tell you some stories.

Kasus pertama: Bandung, sekitar tahun 2006/2007. Lokasi: Kosan "terakhir pindah" di Cihampelas, depan SMA Pasundan 8.

Aku ngekos di bangunan bercat merah jambu bertingkat dua. Hoki juga sih bisa dapet kos-kosan seharga 300 ribu perak di daerah Cihampelas, meski berakhir dengan kenaikan 50 ribu tiap setengah tahun dan ngekos disitu selama dua tahun, masih bisa denger kicauan burung dan raungan macan di subuh sampai pagi hari, lengkap dengan deruk kodok dan ngikrikan jangkrik di malam hari, bikin suasana ngekos makin cozy aja setiap harinya. Tinggal tambah gorengan sama kopi panas, kelar surganya.