Hey it's me again!

Pertama kali menginjakkan kaki ke Hotel Santika Seminyak ini, sebenernya kali pertama juga nginjek tanah Bali, sekaligus bertepatan dengan agenda honeymolen -- honeymoon dan kruntelan kek pisang molen.

Jadi ceritanya, gue dan wifey tuh' abis short-visit dari Ubud, lalu langsung cuss ke Sunset Road buat ke Santika. Perasaan di jalan, kok ya lumayan jauh ya dari Ubud ke Sunset Road, mana punggung renta kita makin cenut-cenut, bayangan leyeh-leyeh di hotel nanti jadi lumayan tinggi juga. Awas aja kalo gak enak batin gue.

Sesampainya di hotel, seneng banget kita! Belum masuk ke lobi aja, kita udah dapet sambutan hangat dari......... satpam. Trus, satpamnya ramah banget. Kita keluar masuk disenyumin & tanpa hentinya disapa (Heh sapa lo? Sapa lo?)

Gue mulai heran sama jenjang karir di Santika, padahal bapak ini sebenernya bakat lho jadi resepsionis. Buset baru dateng udah peduli jenjang karir satpam.

Dari sini
Kepedulian gue terhadap karir resepsionis, akhirnya berbuah manis.

Masuk dong ke lobi, wah lobinya punya fitur lengkap & luas banget. Ada sofa-sofa ruang tunggu yang empuk, ruang komputer buat Youtube-an gratis, jadi kalo gak sanggup bayar hotel ini, bisa numpang browsing hotel lain yang lebih murah, piano untuk menyalurkan kemampuan, dan ada toko bakery lagi. Jangan-jangan di belakang ada Ruang Publik Terpadu Ramah Anak pula. Mantaf!

Dari sini
Berhubung kita statusnya masih pasangan muda yang belum terlalu sering ena-ena, jadilah kita pesen bed King Size. Soalnya, pasangan tua katanya suka males kruntelan lagi tuh, nah dimumpungin deh. Setelah proses booking selesai, langsung deh ngacir ke lift.

Dari sini
Sebelum bikin ade
Sekelar proses bikin ade, taraaa
Setibanya di kamar, gue cengar-cengir gak berhenti. Kamarnya spacey banget, bernuansa elegan & homey dengan dominan warna-warna natural-finished. Pas buka gorden jendela, ternyata ada mini balkon gitu. Gak terlalu gede sih, lumayan lah buat sekedar ngopi sambil berdiri. Tapi ati-ati, kalo dibuka pas malem, suka ada yang masuk tuh. Yaaa kadang belalang, jangkrik, kecoa terbang juga pernah. Maklum kita dapet mini balkon yang sebelahnya kebon kosong.

Ngomong-ngomong nih, tiap kali dateng ke hotel, gue udah punya standard sendiri buat kelengkapan kamarnya; yakni musti ada heater elektrik dan colokan melimpah.


Berbagai kopi, teh serta pengaduknya, yang (kalo gak punya malu) bisa dibawa pulang

Bener aja, Santika pengertian banget. Gak cuma heater, gelas + kopi/teh + pengaduk gratis (Gratis apaan, lu ambil bawa pulang iya) yang di-refill tiap hari, plus free wifi dan colokan hampir di seluruh sudut ruangan termasuk di setiap sisi tempat tidur biar gak berebutan sama istri. Heaven!


Kelengkapan lainnya tentunya built-in AC, mini-fridge, tv kabel, meja belajar untuk menunjang kebutuhan wajib belajar 9 tahun, hair-dryer, lemari double-door, telepon dan sepasang lampu tidur.

Oohh double shower, nikmat mana yang kamu dustakan
Beralih ke kamar mandi, ternyata juga gak kalah lega sama kamarnya. Area shower-nya luas (double shower), lengkap dengan air panas, wastafel, brush-set + shampoo/sabun, kaca gede setengah badan, dan dua pasang handuk buat cuci muka + mandi.

--

Besoknya, ternyata kita bangun agak telat, emang sih kehidupan pasangan muda banyak yang perlu dimaklumi. Pas ngecek jam, waduh sejam lagi breakfast kelar nih. Langsung deh narik istri gradak-gruduk ke rooftop.


Breakfast di hotel, gak lengkap rasanya kalo nggak 'nyisir' semua menu yang disediain. Inceran pertama gue? Ngabisin susu dong! Abis seger banget kan ya, baru melek langsung minum susu murni dingin, puji sukur kalo ditambah koko krunch + honey star, endeeeuss!

Eh, jangan lupa makanannya diicipin semua, biar noraknya sekalian. Overall, menu sarapannya pasti lengkap lah ya. Dari menu appetizer, main-course, dan dessert, semuanya gak mengecewakan. Ada chef juga yang standby buat order menu lain kalo kamu mau.

Omelet cantik yang entah kenapa mirip muka Kamen Rider ...
Restoran yang bertanggung jawab atas semua happy-meal ini bernama Merah Saga. Gue sih betah ya sarapan di sini. Selain karena gratis, waitress dan kokinya juga ramah. Orang kalo nyambut ramah, makan apapun rasanya jadi lebih ridho gitu. Di depannya ada podium juga lho buat kamu yang pingin sarapan sambil pidato berapi-api, biar membakar semangat para pengunjung hotel yang gak doyan makan. Good job, Merah Saga!


Perut kenyang, tinggal berenang! Pas liat kolam renangnya, lah ini ubinnya mirip bak mandi eyang gue :))


Yah gimana ya, kesan pertama kan gak bisa boong, eh akhirnya mah nyebur juga. Tapi beneran deh, view berenang di rooftop tuh' kece juga ya. Kalo beruntung, bisa sambil liat sunset juga kalo gak kealingan gedung. Secapeknya berenang, di sini juga tersedia winery & massage service juga, lho.

Jadiii, final summary gue adalah:

Satisfaction:
  • Suasana hotel & kamar yang terawat, elegan serta homey, bikin betah.
  • Salah satu hotel yang menurut gue "standard enak & aman" kalo ke Bali. 
  • Karyawannya ramah, house-keepingnya sabar banget, kalo tamu belum pergi sampe sore pun masih dijagain kali-kali mau dibersihin.
  • Menu makanan room servicenya enak, bisa diadu lah sama menu favorit kamu di tempat lain. 
  • Breakfastnya gak mengecewakan. Relatif enak :D
  • Colokan everywhere!
  • Menurut gue letak hotel ini strategis ya, mau ke mana-mana relatif gak terlalu jauh. Tempat oleh-oleh, kafe-kafe, factory outlet,atau mau sekalian geber ke GWK, gak terlalu jauh.
Minor Bug:
  • Flusher di kamar gue bunyi berisik gitu, semacem kekencengan tekanan airnya dan susah disetel, kalo mau cebok & siram-siram susah meganginnya :(
  • Ukuran mini balkonnya kecil alias nanggung, dan meresahkan karena deket kebon :(
  • Letak televisi kejauhan :D
  • Respon shower air panasnya lambat, yaaa musti nunggu 3 menitan lah.
  • Kolam renangnya mungkin mengusung konsep bak mandi raksasa kali ya, tapi semua kesan tersebut menguap berhubung view berenang dari rooftop bagus :D

Hotel Santika Seminyak, Bali

Jl. Sunset Road No.17, Seminyak, Kuta, Kabupaten Badung, Bali 80361, Indonesia

Hey, it's me again!

Kamu ngerasa anak sosmed banget? Suka sama dunia digital dan nelusuri sisi lain dari perkembangan teknologi? Congrats! Kamu datang ke tempat yang tepat!

Black Mirror, buat gue adalah satu dari sekian banyak TV series yang setelah ditonton, sangat bikin hati gak enak dengan cara yang paling brilian.

Gak enaknya tuh bukan kayak pas lagi sreg-sregnya jalan bareng habis seminggu jadian, tiba-tiba diputusin via Whatsapp, atau sukses flirting seminggu eh pas ditembak ternyata orangnya gak suka sama elo alias PHP (karena cewek millenials sangat suka tantangan hohoho), tapi lebih ke gak enak ala-ala merenungi nasib 'Ya Allah ya Tuhan YME, selama ini gue hidup jadi presiden ngapain aja ya' kind of version gitu deh.

Dengan judul seserem Black Mirror, kamu pastinya nebak-nebak sebenernya film ini soal apa sih? Horror ya? Setan-setan gitu? Oh tenang, kamu yang kagetan bisa lebih bernafas lega karena film ini genrenya THRILLER HAHAHAHA

Kaca hitam yang dimaksud adalah teknologi. Lebih spesifik lagi, hmmm layar smartphone mungkin?  
\Well, memang gak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi hari ini sangat besar efeknya pada kehidupan manusia. Black Mirror ini menyuguhkan sisi gelap dari teknologi tersebut, berupa alternatif plot kehidupan kalo-kalo teknologi ini beneran berhasil mengambil alih seluruh aspek kehidupan kita sehari-hari.

Karena kengerian tersebut lah yang membuat mata kita tertutup, kita jadi berhenti memanusiakan manusia saking asiknya menjalani rutinitas (yang pastinya selalu terbantu) dengan teknologi.

Hal-hal tadi adalah segelintir alasan yang membuat film ini begitu populer (walaupun secara season singkat banget) serta bikin orang maki-maki di timeline gara-gara ending dari sebagian besar series-nya yang hmmmm apa ya bahasanya; tidak diharapkan :)

Meski begitu, ada tiga kata yang bisa mendeskripsikan kenapa film ini begitu recomended buat ditonton: Mind-blowing, Unpredictable, dan Faith-Shaking. Faith-shaking yang dimaksud bukan kepercayan sama Tuhan YME lho, tapi lebih ke keyakinan hidup sebagai manusia. Ga mau ah dituduh penistaan cuma gara-gara nulis review :)

Ada tiga season yang bisa kamu nikmati sambil ber-mindfuck ria. But note this, sekali kamu nonton satu episode, akan ada immediate hunger yang menyelimuti batin; gak bisa berhenti!

Mungkin di hati rasanya gak nyaman, tapi alam bawah sadar kamu tuh sebenernya betah ditampar. Pengen lagi dan lagi, penasaran dengan alternatif kehidupan lain yang mungkin aja kejadian di dunia fana ini.

Karena misteri cerita yang ada di setiap kepingan seri Black Mirror kerap terkandung plot-twist, gue sebagai penulis yang hobi bikin review dengan kualitas HQQ, akan mencoba untuk membuat intisari serta penjabaran secara mendetail di tiap episode-nya.

Soalnya saat pertama kali nonton biasanya suka agak bingung tuh' atau minimal nanya mamah lah. Tapi masa udah gede nanya mulu kek pembantu baru.

Nah, biar gak terlalu kaget, minimal mantep lah ngikutin jalan ceritanya. Catatan sedikit, mendingan baca bagian 'message'-nya setelah nonton aja ya.
SEASON I
 Episode 1: The National Anthem


Perdana Menteri Inggris dibuat geger oleh ulah seseorang yang menculik putri kerajaan lalu meminta sebuah tebusan. Apa tebusannya? Perdana Menteri Inggiris harus mau melakukan intercourse dengan seekor babi (iya kamu gak salah baca) lalu disiarkan secara live di televisi nasional, lengkap dengan segudang technical detail yang diinstruksikan penculik; membuat skenario ini makin gak masuk akal dan menggerus akal sehat seisi pemerintahan.

Yang makin bikin keruh, setelah mati-matian merahasiakan ancaman ini, akhirnya informasi tentang adanya skenario live tersebut bocor juga ke publik, membuat tayangan live tersebut semakin emm.. dinanti-nanti. Belum lagi dilema dari sang Perdana Menteri, apakah harus memenuhi tuntutan penculik dan menggadaikan akal sehat, atau tetap berakal dengan menjadi pembunuh putri kerajaan?

Message: Dengan membaca ulasan barusan, kita secara gak sadar jadi sangat terfokus pada live Perdana Menteri tersebut, membayangkan akan gimana nasibnya dst dst, bener nggak? Si penculik sebenarnya cuma ingin membuktikan pemikirannya: kita selalu dibuat 'buta' oleh apa yang terjadi di layar, lalu melupakan apa yang terjadi di sekitar, and he won.


Episode 2: Fifteen Million Merits


Kamu yang suka sama film-film Dystopia (kebalikan dari Utopia;gambaran masa depan yang cerah), episode yang ini tampaknya cukup menjanjikan.

Berujung pada masa depan super-modern yang membosankan, membuat manusianya 'bergantung' pada sebuah "tayangan bergengsi" semata hanya sebagai pengalihan agar tetap terhibur dan melanjutkan hidup. Sebagai rutinitas sehari-hari, semua orang menghabiskan waktunya di atas mesin sepeda/bike-trainer, untuk bisa makan, minum serta menghasilkan uang yang dinamakan 'Merits'.

Setiap aktifitas yang dijalankan harus rela disela oleh iklan-iklan yang gak bisa diskip/diacuhkan, karena jika nekat, kamu harus bayar denda/penalti. Di dunia ini, para penderita obesitas hidup sebagai second-class, yang biasanya bekerja sebagai tukang bersih-bersih mesin atau sebagai objek bully dalam game-show.

 
Bingham Madsen, terwarisi merits sebanyak 15.000.000 dari kematian kakaknya, membuatnya bisa merasakan kemewahan dan  nge-skip iklan-iklan sebanyak yang dia mau. Sampai akhirnya di toilet, dia mendengar satu cewek bernama Abi nyanyi-nyanyi bagus banget. Lantas Madsen, menyemangati dia untuk ikutan salah satu "tayangan bergengsi" yang mirip-mirip sama X-Factor bernama Hot Shot, yang juga menawarkan kesempatan untuk keluar dari kehidupan mainstream selayaknya 'budak' tadi.

Masalahnya, harga tiket untuk Abi, seharga persis dengan seluruh tabungan Madsen yakni 15 juta merits; yang dalam hal ini, apakah Madsen rela mengorbanan hidupnya demi hidup orang lain?

Message: A lifestyle could kill yourself.

Episode 3: The Entire History of You


Bercerita tentang realitas di mana orang-orang ditanami implan di belakang kupingnya; sebuah 'module' untuk merekam semua aktifitas yang didengar, dilihat, telah atau sudah dilakukan, memungkinkan kumpulan-kumpulan memori tersebut untuk diputar ulang dan ditonton kembali di hadapan seseorang, atau diputar dalam sebuah layar.

Message: Konsekuensi dari penerapan teknologi agar manusia semakin transparan khususnya dalam hal interaksi/relationship terhadap orang lain, agaknya bisa jadi keputusan yang salah. Menjadi saksi saat rasa insecure dan kepercayaan didukung penuh oleh teknologi, adalah kengerian yang sulit dibantah. Teknologi gak bisa membeli empati & akal sehat.

Season II
Episode 1: Be Right Back


Martha & Ash, adalah pasangan muda yang baru aja memutuskan untuk pindah ke pedesaan. Setelah pindah-pindahan selesai, suaminya Ash meninggal saat sedang di perjalanan mengembalikan mobil sewaan. Keadaan tersebut semakin diperumit setelah mengetahui bahwa Martha sedang mengandung.

In that depressing moment, Martha akhirnya mencoba sebuah online service yang mengklaim dapat menjaganya tetap in touch dengan mereka yang sudah tiada dengan beberapa tahapan. Tahapan pertama, dengan melakuan voice talk yang semua data-datanya diambil dari profil Social Media, serta history komunikasi yang pernah mereka lakukan bersama, sehingga replikasi suara Ash bisa semakin memungkinkan.

Dalam prosesnya, Martha masih berusaha menerima keadaan tersebut, meski sebenarnya udah menjalani voice talk dengan Ash selama seminggu penuh non-stop. Sampai akhirnya Martha panik karena gak sengaja menjatuhkan ponselnya, membuat kedekatan hubungannya secara voice-talk dengan Ash terancam.

Lalu Martha, memutuskan untuk masuk ke tahapan berikutnya; sebuah projek robot/android terbuat dari daging sintetik yang kepribadiannya berasal dari data-data yang bisa diupload. Meanwhile, tanggal kelahiran anaknya pun semakin dekat. Kira-kira anaknya bakal tahu/terima nggak kalau bapaknya ternyata emm.... bukan bapaknya?

Message: Kematian adalah takdir yang mengikat semua makhluk hidup. Adalah wajar, kita sebagai manusia secara turun-temurun masih berusaha untuk cheating death atau menipu kematian dengan banyak cara. Dari cara memperpanjang umur, mentransfer kesadaran agar hidup lebih lama, bahkan melakukan sihir/ritual membangkitkan orang mati.

Tapi in my opinion, apa yang membuatmu mati sebenarnya bukan kematian, melainan waktu. Kamu mungkin bisa menipu kematian, tapi kamu gak bisa menipu waktu. Karena kematian adalah salah satu wujud realitas dari waktu itu sendiri. Kalau gak bisa menerima kematian, sebagai manusia kamu juga gagal menerima realita/kenyataan. Entah secara sukarela atau terpaksa, keduanya cuma soal sudut pandang.

Episode 2: White Bear


Dimulai dari scene seseorang bernama Victoria, yang terbangun di sebuah rumah dalam keadaan amnesia, bingung dan ketakutan, setelah (kayaknya) melakukan percobaan bunuh diri. Serangkaian gambaran & fragmen memori menunjukkan dia sebenarnya pernah punya suami dan anak perempuan. Pencarian jati diri jadi semakin sulit karena keadaan sinyal di daerah tersebut lumpuh.

Semakin ke luar, makin keliatan bahwa Victoria tinggal di sebuah lingkungan yang penuh keanehan dan horror. Di mana semua orang yang ia temui berlomba-lomba merekam video atas dirinya, belum lagi ditambah ada segerombolan orang bertopeng aneh & bersenjata yang memburu/ngejar-ngejar ke mana pun Victoria pergi; a complete chaos. 

Kasian banget Victoria, cuma bisa luntang-lantung sampe akhir mencari jati diri sambil jadi buronan dan direkam oleh warga sekitar, tanpa tahu sebabnya.

Message:  Karakter Victoria yang sepanjang film ini sukses membuat gue jengkel bukan main, ternyata adalah pelaku pembunuhan seorang anak perempuan bernama Jemima Sykes yang diculik gak jauh dari rumahnya. Kejahatan ini ia lakukan bareng tunangannya; Iain Rannoch, yang menyiksa dan membakar Jemima, sementara Victoria sibuk merekam aksi tersebut via ponsel.

The White Bear, tadinya merujuk kepada boneka Teddy Bear milik korban, yang digunakan sebagai judul investigasi kasus tindak kriminal yang dilakukan Victoria. Simbol yang ada di televisi, juga identik dengan tattoo di leher Iain, tetapi Iain terlebih dulu bunuh diri sebelum menjalani persidangan. Setelah Victoria diputuskan bersalah tapi tetap bersikeras ia saat itu berada dibawah pengaruh Iain, Victoria dihukum untuk menjalani penyiksaan "merasakan kembali pengalaman" yang dialami oleh Jemima.

The White Bear Justice Park, adalah ide yang dicetuskan akibat kecerobohan (atau kesengajaan?) Victoria karena video rekaman terebut diendus oleh badan hukum. Hukuman ini dibuka secara komersil bagi khalayak umum yang ingin ikut andil dalam jalannya proses hukuman. Victoria disiksa berulang kali dalam skenario tersebut dan dihilangkan ingatannya setiap kali ada pelanggan yang ingin menyaksikan.

Kayaknya episode ini adalah yang paling disturbing buat gue, selain karena rengekan Victoria yang bikin jengkel dan bikin kuping sakit, plot-twist-nya emang gokil sih. Kalau boleh kasih saran, jangan nonton ini sebelum tidur, gue ampe ngimpi jelek soalnya.

Episode 3: The Waldo Moment


Mulai kapok & jengkel karena terombang-ambing dengan twist episode White Bear? Wah jangan dulu, seri berikut cukup ringan kok, lumayan untuk reset tempo nonton dari awal lagi :D

Waldo -- adalah nama karakter kartun beruang biru yang 'didalangi' oleh seorang komedian bernama Jamie Salter. Waldo adalah bad-jokes generator, dikenal terbiasa mewawancarai pejabat & tokoh penting lewat acara Tonight For One Week Only dengan gaya bercanda yang kasar untuk membuat penontonnya terhibur.

Hingga akhirnya Waldo mendapat kesempatan untuk mewawancarai calon kandidat dari salah satu partai politik yang tengah menjalani proses pemilihan anggota dewan, Liam Monroe, tentunya dengan bad-jokes bully khas Waldo.

Ternyata momen bully-bully politisi tersebut justru sukses besar menaikkan rating dan membuat image Waldo makin populer, membuat sang produser; Jack Napier memberanikan diri untuk membuat acara solo Waldo. Bahkan, menyarankan Waldo untuk ikut masuk dalam kancah pemilihan kandidat untuk mendompleng popularitas; memanfaatkan wujud kartun Waldo yang untouchable dan berbekal opini publik. Tercetuslah ide untuk menggunakan truk berlayar LCD besar sebagai sarana kampanye dan mengolok-olok calon lain secara live.

Terlepas dari seberapa populernya Waldo, justru membuat Jamie; yang sebenarnya sama sekali gak tertarik dengan dunia politik, makin gak puas dan frustasi.

Dilema karir Jamie semakin rumit saat ia bertemu dengan kubu saingan dari partai Buruh, Gwendolyn Harris, yang sebenarnya tahu bahwa kemungkinan menangnya nol besar, bergabung hanya untuk stepping-stone ke jenjang karir politik selanjutnya. Harris merasa Jamie bukanlah ancaman, (karena Waldo-lah yang dicalonkan), keduanya ternyata punya visi yang sama, lalu mereka pun bertukar cerita dan insight.

Konflik semakin meruncing, saat karakter Jamie yang gak suka politik tercampur aduk dengan misi entertainment campaign-nya bersama Waldo. Belum lagi hubungannya dengan Harris terancam bubar karena Jamie keceplosan membocorkan motif Harris bergabung di politik secara publik, membuat Jamie makin kehilangan kontrol atas hidup serta karirnya.

Message: Yaaa begitulah saat rasa apatisme dan ketidakpercayaan kita sebagai publik, dimanfaatkan serta dipermainkan oleh teknologi. Lebih buruk lagi, Harris & Jamie, yang dari awal berharap bahwa apa yang mereka kerjakan sekarang bisa berbuah baik di kemudian hari, justru jadi bumerang; mereka gak berdaya melawan kekuatan gempuran media yang masif.

Menurut gue episode ini agak underrated berhubung plotnya yang straight-forward, key-message yang pingin disampaikan pun kayanya agak geser ya, kurang jela gitu. Not one of my favorite eps.


------- Eh sori sori, season III-nya masih on-going nih. Sementara nunggu, jangan lupa subscribe di bagian bawah blog ini serta tinggalin comment kalau kamu suka dan nungguin review bagian berikutnya ya :D