Hey, it's me again!

So, it's almost two years I use Xiaomi device as my daily driver.

Pertama kali Xiaomi Redmi Note 2 rilis, gue langsung jatuh cinta gara-gara gaming-processor Helio X10 yang diusungnya waktu itu, karena notabene belum ada smartphone lain yang berani pake di jamannya. Seketika itu juga, langsung buka Youtube, download belasan reviewnya, dan semedi untuk memantapkan hati.

Dari segi model oke, harga oke, RAM oke, spek oke, dan kameranya pun lumayan. Detik itu juga,  gue semakin yakin ini adalah smartphone yang tepat untuk mobilitas gue sehari-hari.

Hari-hari pun berlalu, gak berasa udah dua tahun gue bareng terus sama hape ini. Sampe tiba masanya, sekitar tiga hari lalu, barang ini kok rasanya mulai bikin gue jengkel.

Ceritanya gue lagi in-door livetweet, di tempat yang sebenernya cukup-cukup aja cahayanya meski sumbernya dari lampu. Tempatnya hall gede gitu, objek yang jadi tantangan di situ hanyalah hamparan pengunjung, dan LCD screen super gede.

Gue pun mulai jeprat-jepret di berbagai angle, lalu gue cek di gallery, kok fotonya semakin memprihatinkan kalo dipake di area in-door. Hasilnya relatif blurry, detail yang boro-boro, dan berkesan ngelawan cahaya. Gue berkesimpulan, bahwa kilatan cahaya dari LCD screen ini juga memperburuk performa sensor kamera yang sepertinya emang mulai menurun.

News flash sedikit, keadaan Redmi Note 2 gue ini rasanya emang lagi turun2nya. Gak cuma soal hasil kamera, yakni ada beberapa masalah lain sepertinya punya reaksi berantai satu sama lain:

1. Performa gaming mulai banyak frame-drop/frame-skip, khususnya saat main game yang tadinya fine-fine aja seperti Vainglory, Mobile Legend, Civ Revolution, Get Rich dan Yugi Oh Duel Links.

2. Udah sebulanan, internal storagenya selalu merongrong minta dikosongin alias terus-terusan ngasih notif bahwa space mulai habis. Pas dicek di PC, emang bener hanya tinggal 180 MB. Tapi begitu di-clean-up, entah kenapa masalah yang sama kembali berulang.

3. Multi-tasking mulai laggy. Buka Google Chrome selalu diselingi force-close sekitar dua sampe tiga kali, setelahnya relatif lancar.

Gizbot.com
Di hari yang sama, sebelum berangkat gue juga sengaja minjem smartphone istri yang sialnya kebetulan Xiaomi juga, yaitu seri kakaknya; Redmi Note 4. Karena dari rumah roman-roman perasaan gue udah gak enak, rasanya kok gue perlu bawa cadangan hape hari ini.

Setelah meratapi hasil foto yang kualitasnya makin kayak cumi asin ini, gue keluarin lah si Note 4 sambil berbisik pelan ke telinganya speakernya:
Aku mengandalkanmu ...
Dia pun menjawab "iya, mas", sambil seraya mengibaskan selendang dan terbang meninggalkan gue menuju salah satu gedung Bakrie. #LHA #TERNYATASETAN #INIAPASIH

Mari kembali ke livetweet.

Gue keluarin lah si Redmi Note 4, gue klik kamera, dan .................. MATOT! Like seriously???????? Dia mati begitu aja dong, booting di suasana bikin idung megap-megap karena takut momen lewat. Gue coba ngurut dada, eeeh dia marah. #TernyataDadaSatpam

Gue tungguin aja 3 menit, dan diaaa ............... MATI LAGI! Ini brengsek banget sih, entah berapa kali gue ngomong ANJAY kayak orang lagi yasinan. Pas gue cek selang semenit, hape ini gak kunjung masuk ke home-screen. Gue pasrah.
Ternyata dia Bootloop ...
Sesampai di rumah, gue konsultasi (gak deng, marah-marah tepatnya) baik-baik sama istri soal pengalaman hari ini. Ternyata, tabiat terkutuk itu emang kerap muncul jika smartphone tersebut gak dimasukin sim-card.

Batin gue, gilak fatal amat. Dari seantero masalah smartphone yang ada, boot-loop (kondisi di mana smartphone stuck di layar booting lalu restart lagi) gara-gara gak ada sim-card itu mungkin masuk ke list yang berapa riburiburiburibu ke bawah gitu. Jarang banget!

Tetiba gue jadi flashback. Sebelum megang dua smartphone ini, kita berdua sempet pake Mi4i buat daily-driver. Kita sempet suka banget, hapenya kecil, sleek, bersih, berkesan premium, dan kameranya bagus banget. Paling nggak, kepadatan pixelnya bener-bener mencukupi kebutuhan kita dalam hal jepret-jepret cantik.

Hampir setahun kita pake, kita sempet ngeh kalo hasil fotonya belakangan ini kok gak lagi sama seperti saat pertama kali beli. Kita sampe nyempetin bandingin foto lama dan foto baru ini, dan bener. Kualitasnya menurun. Apakah karena update software berkala? Atau karena ketahanan sensor, atau kualitas sensor Sony yang Xiaomi pake? Nobody knows.

Kasus ini diabaikan berhubung seminggu kemudian, hape ini accidentally jatoh karena kesenggol dan layarnya pecah. Mengingat deadline yang waktu itu lagi padat-padatnya, kita gak begitu ambil pusing dan langsung nyari hape lain sebagai pengganti.

Berbekal dengan seluruh kejadian dan pengalaman ini, gue semakin mantap, I can't rely to this thing anymore.
The following decision of choice is a huge stepping stone for me, because I decide to get a new, expensively pain-in-the-ass branded phone. An iPhone.
Gue itu, orangnya suka ngulik, kalo penasaran harus dituntasin sampe ujung, dan biasanya harus selesai hari itu juga saking ngototnya. Ya kalo ada waktu aja sih, tapi dengan era keterbukaan informasi kayak sekarang ini, most likely kita selalu bisa nuntasin rasa penasaran hanya dalam hitungan beberapa jam.
Dulu waktu mau beli Xiaomi atau barang apa pun, pola riset yang gue terapkan selalu sama sih.

1. Riset dasar: Perkaya wawasan soal barang tersebut.

Youtube is the best place to research. Karena nyari pembanding secara visual itu lebih enak daripada baca puluhan artikel sambil ngebayang-bayangin. Jadi, gue kumpulin belasan video dari sumber yang gue tahu reliable & udah terkenal reputasinya. Lalu catet poin penting yang dirasa bisa berpengaruh dalam decision-making.

2. Coba cek testimoni terkait barang tersebut di forum-forum, atau di Youtube juga bisa.
3. Gue selalu cek harga di berbagai toko online terkemuka sebagai ancer-ancer, hanya sekedar biar gak kaget atau ngerasa ditipu karena gap harga. Gue jarang beli online, prefer offline karena selain bisa cuci mata, bisa sekalian ngobrol-ngobrol di store :)

4. Cek kembali hasil compile-an yang udah dibuat, lalu mantapkan hati. Kuncinya, bukan apa aja kelebihan barang tersebut, tapi apakah kekurangan barang tersebut bisa lo terima. Kalo udah mantap, hajar!

Karena sebelumnya gue termasuk dalam jajaran #MendingXiaomi, keputusan ini tentu lahir dengan banyak pertimbangan, selain omelan istri tentunya, he he he he.

Berbekal kepahitan sebelumnya, faktor terkuat yang mempengaruhi keputusan pastinya soal kamera. Kedua, adalah multi-tasking. Dengan OS yang super-stabil, gue belum pernah ngerasain enaknya scroll-swipe-scroll dan berpindah aplikasi satu ke yang lain se-fluid di iPhone.
Di antara hape branded lain, kenapa gue akhirnya hijrah memilih iPhone?
Untuk itu, gue punya beberapa pertimbangan subjektif:

Kenapa bukan Sony?
Gue suka produk-produk Sony, khususnya yang ada hubungannya sama permusikan. Smartphone-nya mereka pun keren, berani beda, dengan desain kotak edgy-nya dan kustomisasi UI yang beda, mereka tetap bersaing dan bertahan sampe sekarang. Hanya aja, gue kurang familiar dan sama sekali gak berpengalaman dengan smartphone Sony. Sekali pun belum pernah megang atau pun swipe-swipe hape mereka yang bernama Xperia itu lho. Jadi ya gue coret.

Kenapa bukan LG?
Simple, walaupun pake stock android, UX/UI-nya mirip-mirip dengan sebagian besar hape cina jaman sekarang. Ngebayanginnya aja, gue udah boring duluan hahahaha.

Kenapa bukan Samsung?
Semua produknya identik! Emang sih S-Pen nya keren, tapi rasanya saat ini belom kepake-pake banget gitu. Selain alasan tersebut, gue gak tahu mau ngapain lagi dengan Samsung beserta UI-nya. Inovasi yang mereka bikin lebih mengarah ke gimmick dan beberapa minor refinements.

Source
Praktisnya, alasan kenapa gue pilih iPhone adalah karena faktor reliability. Punya rasa aman karena reputasi/kualitas serta kinerja produknya yang udah terkenal di seluruh dunia, is one of a good investment. 

Sekarang aja, masih banyak banget lho yang ngeburu iPhone second-ori kayak seri iPhone 4/iPhone 5 dan kinerjanya masih bisa menyaingi kinerja hape keluaran tahun kemarin. Keren gak sih, selalu butuh waktu lama dari setiap (spesifikasi) seri iPhone untuk jadi obsolete atau basi.

Saking seringnya ngikutin review-review smartphone yang beredar saat ini, gue semacam mulai ngerti gimana cara masing-masing brand berkompetisi satu sama lain memasarkan barangnya agar disukai publik, yang mana juga mempengaruhi pandangan/pilihan kita pada suatu produk smartphone.
Pernah penasaran kenapa hape branded selalu lebih mahal?
Untuk mempermudah bahasan ini, biasanya gue selalu mengkotak-kotakan beberapa merk smartphone ke dalam dua kategori, yaitu hape cina/hape keluaran perusahaan baru (Xiaomi, Oppo, Smartfren, Lenovo Vivo, HTC) dan hape branded/penguasa pasar/pemain lama (Sony, Samsung, LG, Apple).

Source
Alasannya adalah: karena riset & budget iklan. 

Di atas kertas, gue beranggapan Apple & Samsung adalah pemain lama, otomatis riset yang udah mereka lakukan ke produk mereka juga pastinya lebih matang, sehingga menghasilkan produk yang bagus juga. Tapi melengkapi itu semua, barang bagus tanpa marketing bagus juga pasti zonk abis.

Terus kenapa hape cina dengan spesifikasi identik bisa dijual lebih murah? Atau lebih tepatnya, apa yang mereka lakukan untuk menekan harga? Banyak banget!

Selain budget promosi yg dipangkas, "gimmick" rilisan spesifikasi terbaru masih menjadi strategi jitu. Downside-nya, ya barang dengan spesifikasi tersebut belum banyak yang pakai. Dengan kata lain, masih minim riset. Suhu hape panas, hasil jepretan ala-ala canvas, baterai berdaya raksasa tapi bocor setengah hari, adalah salah satu contoh minimnya riset.

Mari kita ambil contoh asal produk Xiaomi dengan RAM 6 GB dengan prosesor Snapdragon terbaru quad-core 835. Spek ini jelas unggul di atas kertas. Tapi gimana dengan penampakan aslinya? Udah jadi rahasia umum kalo Xiaomi boros RAM gara-gara MIUI-nya. Alhasil, RAM 6 GB jadi tinggal 3 GB aja. Sementara iPhone, RAM gak usah gede-gede, 3 GB aja, core gak usah banyak-banyak, dual core aja.  Believe it or not, performanya bisa sama lancar dengan Xiaomi dengan RAM 6 GB dengan harga yang terpaut jauh. Kok bisa? Ya, karena perbedaan waktu riset.

Itulah strategi marketing. Ujungnya, akan kembali ke daya beli customer untuk menemukan yang cocok, karena pasar hanya menyediakan beragam pilihan.

Cheers!



Thumbnail:

Hey it's me again!

Kalau kita udah mulai ngomongin film Thailand, mereka emang gila sih.

Dulu gue pernah nonton Ong Bak, dari awal beli popcorn ampe film abis, itu cemilan gak kemakan saking deg-degannya dan distraksi horror yang intense di film kampret itu.

Start dari situ, gue sadar bahwa para film-maker Thailand gak bisa dianggap remeh, perlahan-lahan mereka mulai merangkak naik loh. Apakah mereka ingin menghabisi dinasti Bollywood?? HHAHAHA
kembali ke Bad Genius ....
Menurut gue, film ini bisa dibilang satu-satunya film terbaik sejauh yang gue tonton di sepanjang tahun 2017 ini. Bahkan film-filmnya Marvel aja lewat? I can say yes! Yatapi ngebandingin film ini sama Marvel emang nggak apple-to-apple, tapi since ini blog gue dan bisa ngomong seenak udel, marilah kita coba.

Marvel itu, ya bagus. Dari overall packaging aja gak mungkin orang gak suka film-filmnya Marvel. Dibikin penasaran, udah pasti. Dimanjain sama special effect dan teknologi green-screen yang aduhai, pastilah.

Lalu gimana review gue soal BAD GENIUS? Film ini justru gak muluk-muluk. Ambil aja konflik sederhana:
Curang itu tergantung dilihat dari mana. Who's agree?
source
Tokoh sentral di film ini; Lynn, si jago matematika yang sepertinya kalo lo tanya apa pun, dia pasti tahu jawabannya. Tapi walaupun pinter banget, kemampuan sosial Lynn nol besar. Sampe akhirnya di hari pertama pindahan sekolah, dia ketemu sama satu-satunya murid yang mau bertemen sama doi; Grace si tukang flirting. Ituuu lho yang mukanya mirip Maudy Ayunda.

Mulailah si Grace manfaatin soft spot Lynn; memohon agar Lynn mau bantu lulusin ujian dia. Muncullah stunt "Shoe & Eraser" yang super-keren di sini.

source
Udah mah tukang flirting, mulutnya ember. The perfect combo of Lambe Turah ini akhirnya tembus ke kuping Pat, anak tajir yang (entah kenapa mau) pacaran sama Grace, mengiming-imingi Lynn soal seberapa besar keuntungan yang bakal dia dapat kalo dia mau bantuin gengnya lulus ujian.

Terpojok keadaan finansial keluarga yang meresahkan, akhirnya Lynn setuju untuk menggadaikan isi otaknya untuk jadi "cheat-franchise". Tapi kali ini, mereka semua mulai bermain rapi.

Udah gak pake sepatu dan penghapus lagi, melainkan membuat suatu pola/formula pijitan not piano yang diwakili dengan jari, yang pengaplikasiannya mirip seperti kode morse. Ini keren gilak sih.

Sampe akhirnya Lynn ketemu lah dengan saingannya; Bank si murid baik-baik, pinter dan polos, mulai mengendus ketidak-beresan franchise yang lagi dikembangin Lynn. Nah, lho!
Cheating seems bad for business.
Lynn & Bank sebenernya sama-sama pinter, tapi punya satu perbedaan. Lynn ini dari lahir kayaknya emang udah jenius, sementara Bank pinter karena jago menghafal. Persamaannya, mereka sama-sama gak pandai menjalin pertemanan.

source
Lynn beruntung karena masih bisa sedikit opportunist, sementara Bank ini anaknya lurus banget. Sedih rasanya ketika Bank harus rela melunturkan seluruh prinsip hanya karena harus ikut 'aturan bermain', terpojok karena keadaan yang kurang beruntung.

Pasti sebagian besar dari kita pernah lah ngerasain drama tersebut pas jaman sekolah, membuat film ini makin berasa deket dengan keseharian dan real.

Menariknya, semua karakter yang ada di film ini sebenernya antagonis. Masing-masing dari mereka punya pokok permasalahan yang berbeda-beda, dengan motif dan rencana penyelesaian masalah yang berbeda-beda juga.

Orang yang sekelas Lynn, sang jago matematika pun, ternyata gak cukup pintar untuk menebak konsekuensi apa yang akan dihadapi dengan cheating business ini, dan meski dengan beberapa kali latihan, lynn cukup lihai berbohong, musuhnya hanyalah dirinya sendiri.

Sementara Bank meskipun pintar, harus rela dipukuli dan 'main kotor' karena terlalu naif.

Ekspansi dari konflik tersebut dikembangkan secara apik. Tentang bagaimana sebuah kepintaran diadu dengan harga masa depan, harga pertemanan, dan nasib keluarga.

Sampe akhirnya mereka sadar akan 'aturan bermain' yang eksis di dunia ini, di mana mereka mulai mempertanyakan fundamental belajar mereka :
Pinter aja gak cukup kalau gak bisa cari duit.
Konflik njelimet tersebut sukses dibungkus dengan aroma drama, script & teknik-teknik kamera minim special effect yang bikin kamu speechless. Kamu musti liat gimana sang kamera nge-shoot salah satu scene, di mana tangan lagi ngurek-ngurek pensil 2B di lembar jawaban.

Semua cast-nya juga gak kalah mantep, lucu-lucu hormonal ala-ala remaja, enerjik, dan digarap dengan angle kamera dari sudut pandang komikal yang bikin konflik di antara mereka makin lucu sekaligus menegangkan.

Semua porsi film digarap pas, dimulai dari pengenalan karakter dan konflik yang terungkap secara bertahap tapi gak ngasih kamu napas, lalu BOOM BOOM BOOM plotwist mulai bermunculan dengan delivery yang digarap sangat matang!

Gak perlu bikin film bersekuel dan special effect yang njelimet penuh hingar-bingar. Kasih aja kita konflik sederhana, simple, dekat dengan keseharian seolah kita pernah/mungkin aja ngerasain, dan teknik kamera serta cinematography yang kece.

Kalo soal satisfaction, gue rasa film ini adalah juaranya.  

Thumbnail: