Merantau ke Solo dengan modal 500 ribu perak-udah-termasuk-ongkos, ditambah resiko terancam nganggur sebulan itu serem juga, lho.

Pasalnya, dari awal gue tahu Solo pastinya bukan kota korporat kayak Jakarta, yang mana lapangan pekerjaannya lebih menjanjikan serta dibuai gaji yang menggiurkan.

Solo itu kotanya para pedagang dan wirausaha, sob. Di sini bukan tempatnya gedung-gedung berlantai 33 yang pintu masuknya pake gesek kartu. Gedung tinggi di Solo tuh cuma ada dua jenis, kalo nggak Luwes (pusat belanja), pasti sisanya hotel.

Lha, kok masih nekat?

Yaaaa namanya juga nyari rejeki halal. Sekali-kali nyari duit yang nggak bau knalpot boleh kan? :)

Ceritanya ...

Karena gue nggak dibekali dengan sumber daya yang menjanjikan seperti laptop dan koneksi internet, satu-satunya cara nyari lowongan di sana adalah dengan metode konvensional.

Yak, gue harus bangun pagi demi mengejar koran terhangat dalam genggaman. Karena lewat sejam aja, abis deh itu koran buat bahan rumpi penghuni rumah, dan musti nunggu malam hari buat ngobrak-ngabrik koran dengan pantat nyaman.

Mading Kantor Pos
Plus, gue harus rela mondar-mondir ke kantor pos demi ngecek ketersediaan lapangan kerja di sana. Dari nyatetin alamat kantornya, bolak-balik ke warnet buat nge-print CV, sampe akhirnya nyemplungin lamaran di meja resepsionis dengan raut muka tanpa keyakinan.

Karena gue sadar, ngelamar kerja tahun 2013 harusnya nggak sebegininya sih.

Gue juga senantiasa selalu lupa berdo'a. Habis gimana ya, gue lebih percaya usaha gigih dan prediksi realita sih. ((BOLEH TEPUK TANGAN))

Genap dua minggu tanpa hasil, gue geram dan berontak............ dari kasur. Asik kali ya kalo maen-maen ke Pasar Kembang. Siapa tahu siapa yang tahu.

Eh, ternyata bener.

Salah satu perusahaan di areal ruko sana sepertinya menjanjikan kesempatan buat gue. Meski plang PT-nya ketutupan pohon, gue harus yakin bahwa hal tersebut bukan merupakan indikasi kesialan.

Areal Ruko
Tanya-tanya dikit ke resepsionis, ternyata perusahaan ini bergerak di bidang pengajaran robotika.

Langsung aja riset sana-sini, eh ternyata sepupu gue pernah kerja di sana. Wuih, makin gampang aja dong ya. Dengan berbekal cerita sepupu gue yang bilang bahwa dia baru kerja dua hari terus keluar, gue tetep mantep nggak peduli.

Selang tiga hari, lamaran gue segera tersulap jadi panggilan interview. Hore.

Setelah hampir dua jam chit-chat sama Kepala Cabangnya, kita akhirnya setuju buat saling memperkerjakan. Ciyeee yang dapet kerja di Solo :')

Konon, bisa kerja di suatu PT di Solo itu jadi kebanggaan tersendiri buat orang lokal, lho. Mengingat di sini memang surganya wirausaha dan dagang-dagang cantik.

Hari kedua kerja, foto-foto nggak boleh khilaf
Sekelar tanda tangan kontrak "nggak boleh minggat" selama dua tahun, bersedia ekskul keliling ke berbagai sekolah, serta wajib serabutan jadi petugas piket kantor, masa training gue jadi guru robotika selama sebulan pun dimulai.

Kesasar jadi guru...

Meski masa training baru lewat dua hari, I still have no idea what robotic is, tapi gue sadar apa yang gue pelajari sekarang nantinya akan gue "forward" ke murid-murid yang belajar di LPK ini, which is jadi tantangan terbesar di pekerjaan ini.

"Gimana caranya biar hal serumit robotika bisa dijelaskan dengan gamblang pake bahasa yang dimengerti anak-anak?"

Gue terus-terusan mikirin hal tersebut sampe nggak terasa masa training seminggu gue kelar, tanda dimana masa on-job training gue dimulai.

Hari perdana on-job training, kayaknya hal pertama yang harus gue lakukan adalah meng-observe tipikal murid-murid yang belajar di sini.

Ternyata, yang sering datang ke LPK kebanyakan murid-murid kelas TK hingga kelas 3 SMP. Dan karena gue baru masuk, gue dapet jatah ngajar anak-anak kelas TK sampai kelas empat SD (ajah).

Emang dasar nggak punya basic apapun di bidang robotika, gue sempet pesimis duluan. Karena di hari pertama on-job training, gue kebagian anak kelas 2 SD yang dikenal "killer" di LPK ini, Jason namanya.

Killer bukan berarti seneng nyekek orang kayak Jason Statham, tapi Jason adalah anak paling manja di sini. Terkenal sering ngerengek dan hobi buang-buangin mainan kalo lagi stuck nggak bisa ngerakit robot.

90 menit jam pelajaran akhinya selesai juga dengan durasi ngambek hampir 40 menit sendiri. Fiuh, hari pertama akhirnya lewat juga meski agak gagap :))

How to be a good teacher?

Setelah lewat empat hari, gue baru paham apa yang mereka maksud dengan istilah "robotika" di sini.

Ternyata, robotika yang dimaksud adalah, memahami seluk-beluk suatu mekanisme melalui simulasi robot/program (software), baik manual maupun yang terotomatisasi. Seperti mekanisme persneling, katrol, pengungkit, pergerakan mesin kendaraan, dan lain-lain.

Dari sini, impresi awal yang gue tangkap mengenai definisi robot pun berubah total. Dari yang awalnya ngebayangin Optimus Prime dan Megazord, berakhir jadi simulation-kit yang peralatannya minjem punya Fischertechnik. 
Salah satu contoh Fischer Kit
Gue jadi kepikiran, gimana ya perasaan anak-anak yang terlanjur bahagia liat brosur-brosur LPK yang mostly pake gambar robot keren a la Transformers dan Pacific Rim, dan ternyata berakhir dengan miniatur edukasi di luar perkiraan mereka?

Mungkin sempet kecewa, tapi yah toys still a toys :)

Lalu, untungnya apa sih belajar robotik?

Di era yang hampir semua "ketertarikan anak kecil" dipindah ke dunia digital kayak sekarang ini, menghasilkan sebuah kebiasaan jelek yang gue sebut dengan "berpikir instant".

Tahu dong, apa yang disuguhkan gadget termasuk segala informasi di dalamnya, selalu dieksekusi secara instant. Tinggal pencat-pencet opsi tombol yang ada, result akan datang dengan sendirinya. Membuat anak-anak terlatih buat berpikir cepat tanpa mengalami suatu proses dan progress.

Nah, robotika ini bisa jadi alternatif buat mengatasi hal tersebut.

Di edukasi robotika tahap dasar, anak-anak dilatih buat menemukan solusi dari sebuah masalah dan meningkatkan level berpikir logis yang dididik dari rasa penasaran. Rasa penasaran tersebut bikin anak jadi "gatel" dan terus-terusan banyak nanya, menghasilkan generasi muda yang lebih kritis terhadap cara kerja suatu hal.

Hal tersebut tentunya nggak bisa lepas dari kualitas dan peran pengajar yang baik. Berikut empat poin penting yang gue pelajari:

1. Memahami karakterisitik anak adalah nomer satu, ilmu itu nomer kesekian.

Pepatah "percuma pinter kalo nggak ada yang ngerti" tampaknya tepat diaplikasikan ke kasus ini. Karena daya tangkap dan cara komunikasi anak beda-beda, pengajar harus pinter menyelipkan pelajaran di sela-sela ngobrol.

Gimana biar bisa ngobrol dengan baik? Ya harus ngerti anaknya. Ilmu serumit apapun, kalo dia nyaman sama kita, dia akan banyak nanya kok sampe dia bener-bener paham.

Setelah kamu paham dan menyerap vocabulary si anak saat ngobrol, bahasa "robotika" atau pelajaran apapun dengan versi yang lebih mudah dipahami akan muncul dengan sendirinya.

2. Ngertiin anak-anak itu bukan soal durasi, jadilah aktif.

Rasa asing di tempat kerja baru atau ketemu orang baru itu sebenernya hal biasa, tapi kadang justru menjadikan kita pasif.

Cara paling mudah ngertiin anak-anak itu, sering-seringlah diajak ngobrol, jangan nunggu anaknya ceriwis. Gali hal apapun yang sekiranya bisa jadi topik pembicaraan dan anaknya tertarik. Kalo udah deket, biasanya mereka mau terbuka buat cerita hal-hal yang lebih personal.

Tapi ati-ati, kalo kasusnya anak-anak perempuan, mereka bisa jadi lebih sensitif. Sebisa mungkin hindari ngobrol dengan topik personal kecuali kamu udah bener-bener paham karakternya.

3. Jadilah dedikatif dan fleksibel

Setelah kamu tanda tangan kontrak, disitu adalah momen dimana kamu setuju menjadi pengajar. Pengajar/guru selalu erat kaitannya sama dedikasi.

Dedikasi yang dimaksud adalah, jangan males-males! Apalagi kalo hubungannya dengan pelajaran. Inget, segala apapun yang kamu omongin saat jadi pengajar akan diserap oleh anak-anak. Karena anak-anak kan nganggep kamu gurunya :)

Kadang ada pengajar yang nggak mau susah dan cenderung copy-paste. Bahasa yang diajarkan trainer saat training, disampaikan secara persis dan mentah-mentah ke anak-anak. Mau ngerti atau nggak, yang penting edukasi tersampaikan.

Nah ini nih.

Jangan males-males mikirin dan meramu ulang bahasa pengajaran. Capek memang, mengingat daya tangkap dan cara komunikasi anak-anak beragam. Inget lho, kan kamu udah setuju buat jadi guru dengan segala konsekuensinya :)

4. Stay calm and encouraging

Ada kalanya anak-anak juga ngerasa nggak percaya diri, frustasi sama pelajaran, dan ngerasa dirinya nggak cukup mampu buat menyelesaikan sebuah masalah. Kamu juga nggak boleh kebawa nge-down dan apatis mentang-mentang nggak ada atasan yang tahu dan tetep terima gaji.

Ini adalah tugas kamu untuk tetap nyemangatin si anak. Bukan cuma soal nama baik perusahaan aja, tapi ini juga soal nama baik kamu sebagai orangtua kelak. Bikin jokes ringan dan cerita-cerita konyol biasanya bisa jadi obat penyemangat yang ampuh.


A month later ...

Widih, ternyata pembelajaran gue di LPK ini belom berhenti. Ternyata masih ada level training yang lebih advanced lagi, yakni bidang mekatronika/mikrokontroler (CMIIW).

Namanya juga kenangan, pasti ada ngeblurnya lah :)
Pololu 3PI
Jadi, di level ini gue baru kenal tentang kayak gimana teknik solder-menyolder, bikin saklar mini buat aktivasi robot balap, pembacaan sensor, dan pemrograman lewat software Atmel AVR. Kalo nggak salah, kitnya pake merk KAI-ROBOT dan POLOLU. Imporan Korea dan Ameriki, lho.


KAI ROBOT

Nah, edukasi ini dilanjutkan dengan membuat robot-balap sendiri yang nantinya bisa mendidik si anak jadi lebih kompetitif dan berani bersaing. Mengenai orientasi apakah ilmu ini akan bisa dipergunakan di dunia pekerjaan nantinya, sepertinya masih agak ngeblur.

But still, ini keren banget! Kalau aja setiap materi fisika di SD/SMP ada simulasi robotiknya, anak-anak sekarang mungkin jadi lebih kritis ketimbang hobi nge-fans sama dangdut koplo.
[Pret's-pektif]

Jadi, gue belajar apa aja nih?

1. Yang terpenting, gue jadi kenal berbagai karakterisitik anak yang belajar di LPK tersebut, terutama dari segi pergolakan emosinya. Dari mulai yang lokal sampai yang interlokal, dari yang pendiem sampai yang cengeng, semuanya bikin gue sadar bahwa jadi pendidik itu nggak mudah.

Semua cuma soal apakah anaknya gagal terdidik, atau tenaga pengajarnya yang kurang terdidik?


2. Ini pertama kalinya gue kebagian serabutan piket di kantor sendiri. Membuat gue makin sadar, kita harus bisa prihatin di segala situasi.

3. Meski semua pengalaman robotika ini nggak kepake di pekerjaan gue sekarang, at least kalo ditanya kenapa roda kendaraan harus bulet, kenapa persneling pake beraneka ragam gear, dan gimana cara pintu otomatis di mall-mall bekerja, gue pasti bisa jawab.

Cheers for the power of sharing \o/
Source
Saking seringnya mondar-mandir ke toko buku, salah satu konter yang selalu menarik perhatian gue tak lain dan tak bukan adalah konter musiknya.

Bukan karena instrumen yang dipajang kece-kece mengkilap, tapi soal pemandangan siswa-siswi SMP/SMA yang kerap kelihatan bingung pas milih gitar akustik buat tugas keseniannya.

Kadang cuma bisa terkikik geli karena orangtua yang mereka ajak pun sama-sama nggak ngertinya. Akhirnya, gitar "tanpa kepribadian" pun diboyong secara ngasal ke rumah.

Lewat postingan ini, gue mau share serunya menelusuri seluk-beluk memilih gitar akustik yang wajib diperhatikan.

Sayang lho, momen beli gitar pertama kali harusnya jadi sesuatu yang berkesan, kali aja gitarnya bisa awet sampai dua atau lima tahun ke depan, ya nggak?

Jakarta, sebuah kota di mana semua perantau mendambakan hidup layak.

Sebuah kota korporat di mana gedung-gedung tinggi bercokol dengan segala hiruk-pikuk politiknya. Ditambah ritme hidup perkotaan yang serba cepat, jadi cukup membingungkan buat sebagian orang yang ingin mencoba liburan ke sini.

Terus, kenapa masih mau liburan ke Jakarta?