Kesederhanaan Terselubung "Jalan-Jalan Men"

6 comments
Picture source : http://liveveryhigh.wordpress.com/

Gue muak sama Jakarta. Gue muak sama kehidupan perkotaan. 

Gue muak sama macet dan segala hiruk pikuknya. Gue muak dengan tata cara ajakan berpolitik dan hiasan-hiasan bendera kampanye yang memaksa kita untuk terdistraksi dari kebutuhan akan pohon-pohon hijau, lengkap terganti oleh billboard reklame dan panji-panji front nggak jelas atas nama suara mayoritas. 




Gue muak dengan segala macam adu argumen dan tabiat orang kota yang seringnya "senggol dikit-bacok". Gue muak lihat pemuda-pemudi beserta ibu-ibu demo sampai lupa anaknya belom dikasih makan. Gue MUAK dengan rutinitas orang kota.

Lo ngerasa sependapat dengan paragraf barusan?

Dengan segala hormat, yuk baca sampai habis.

Gue yakin kebanyakan dari lo pastinya udah tahu tayangan Travel Series Jalan-Jalan Men garapan Cristian Sugiyono, Naya Anindita dan Petra "Jebraw".

Source: https://twitter.com/jalan2men

Semenjak tahu episode pertama mereka di Yogyakarta, gue langsung tergugah untuk ngikutin perjalanan mereka sampai sekarang. Justru bukan karena tempat-tempat yang mereka kunjungi. Buat gue pribadi, beberapa episode tertentu dari JJM punya makna tersendiri. Dan barangkali, kamu juga bisa ikut menemukan salah satu dari makna tersebut.

Contohlah yang di Yogyakarta. FYI aja, gue nonton episode ini dalam kondisi "I'm on my lowest level" di kota Solo, sekitar setahun yang lalu.
  
Gue waktu itu pengangguran, udah lempar kerjaan kemana-mana, kehabisan inisiatif, sementara masalah paling krusial anak kos yaitu pundi-pundi finansial udah kian menipis bukan main. Sampe akhirnya bingung gue harus bertahan di Solo atau hijrah ke Jogja sekalian, dengan alasan pertimbangan UMR.

Malamnya, salah satu anak kosan iseng main ke kamar gue, dan nyodorin video JJM di Jogja. Dua jam berselang, gue ngerasa seketika direset dan direfresh kembali. Seger gitu rasanya. Semua hal positif nan optimis mulai perlahan balik dan mengajak gue bangkit. I'M BACK ON THE LINE! 

Spontanitas Jebraw dan visible sight of passionate travelling-nya bikin gue sadar bahwa INISIATIF bisa ditemukan dimana aja, dan any condition. Terlepas dari soal video itu dapet sponsor atau keperluan bisnis, jelas bukan itu poinnya.

Lalu kemarin malam, tepat jam tiga subuh, kejadian negatif tersebut berulang lagi. Gue ngerasa sumpek luar biasa, capek sama rutinitas ibukota, persis seperti apa yang udah gue paparkan di paragraf pertama tadi. 

Karena memang, udah dua bulan belakangan ini unek-unek soal kota Jakarta dan hiruk pikuknya serasa makin parah aja. Sampai akhirnya gue iseng keluar nyari tempat wi-fian dan nggak sengaja kepikiran buat download salah satu episode JJM di Wae Rebo dan Labuan Bajo, NTT. 

Dan ini menarik buat disimak.

Ada salah satu scene dimana  Jebraw dkk sampai ke sebuah tempat bernama Kampung Wisata Cecer (Although, kampung wisata biasanya memang terkondisikan untuk wisata, banyak esensi penting yang gue tangkep di scene ini).


"We are the King, today", kata Jebraw.

Mereka disambut oleh warga sekampung dengan upacara adat setempat yang berarti "Mereka disambut sebagai keluarga, seorang anak rantau jauh yang kembali pulang".

Disana, semua orang tersenyum. Mereka diajari adat dasar kekeluargaan dan ajaran leluhur bahwa semua kebutuhan kita untuk hidup pada dasarnya sudah tersedia, dan kita sejak awal udah dicukupkan. Tergantung kamu memutuskan untuk merasa cukup atau nggak. 


What a words.

Belum berhenti sampai situ, mereka akhirnya sampai di Wae Rebo. Sebuah pemukiman primitif diatas puncak gunung, dihuni sekitar 600 orang yang sudah berlangsung selama 18 generasi. 



Dan sebelumnya Jebraw dikasih quest becandaan yang mengharuskan dia ngebawa satu buku untuk dibacakan ke anak-anak pemukiman.


Satu buku. Satu buku untuk setiap kelompok turis yang mengunjungi mereka.

Keluarga Labuan Bajo hidup dengan berdagang hasil panen, bercocok tanam, bersawah, menjahit, menenun, dan belajar membaca.

Mereka nggak kenal gadgets, macet, kendaraan, kampanye dan bajingan-bajingan politik. Kontras banget rasanya. Mereka cuma tahu bahwa mereka harus turun-naik gunung sejauh 3-4 km setiap harinya untuk menjual hasil panen demi keberlangsungan hidup.


Dari sini, belenggu dan rantai rutinitas pekerjaan ala perkotaan yang gue rasa udah mewabah ke tempat dan pulau-pulau sekitarnya serasa nggak ngefek ke mereka. 


Mereka makan seadanya. Beras merah dengan lauk pauk dari kebun sendiri menjaga mereka tetap sehat jauh dari kontaminasi dan manipulasi label halal. Hasilnya? Badan bugar dan otot keras tanpa perlu dateng rutin ke fitness centre. 


Mereka nggak butuh iPad hanya untuk tersenyum. Mereka nggak pernah ngerasain dibohongi animasi berformat PNG dan wallpaper statis dari layar LCD. Mereka punya layar sendiri, hamparan gunung dan lereng terjal yang bikin mereka bersahabat dengan alam sekitar.

Mereka duduk manis sekeluarga untuk menjaga komunikasi dan makan bersama, bukan untuk nge wi-fi dan nyari colokan.


Mereka memang minim pendidikan, tapi pejabat kota nggak punya semangat membaca dan belajar sebesar mereka.


Mereka ramah, selalu senyum terhadap siapapun yang mereka temui, terlepas mereka kenal atau nggak. Jelas beda dengan kota, habit "senggol-bacok", "lo-lo-gue-gue aja", dan segala macam apatisme masyarakat subur banget terpelihara.

It really slaps me.

Beberapa orang kota pikir, dengan mereka pergi ke luar pulau Jawa saat punya uang itu berarti mereka udah tahu Indonesia dan segalanya. Mereka ngerasa satisfied dengan liburan sejenak menguras uang demi hasrat back to nature yang mereka pikir begitulah adanya dan di upload di semua sosmed. Pamer.

Mereka pikir, they can google everything Belum tentu kamu bisa nemu BTS provider di pelosok negri. Padahal sesampai di alam liar dan pemukiman primitif, satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan adalah bertanya dan percaya sama omongan warga setempat.

Mungkin sebelum berangkat atau di pesawat, kamu ngerasa udah nge-google segala macem resource dari tempat tujuan kamu.

Kebanyakan orang kota memang sotoy.

Satu pembelajaran penting dari tayangan tersebut, Jakarta adalah kota segala penat, dan hanya Jakarta. Diluar sana, masih banyak tempat-tempat untuk "berpulang pikiran" menghapus diri dari suntuk perkotaan.

[Pret's-pektif] : Obat penghilang penat adalah kembali ke alam. Mencoba mengingat kembali dari mana semua dasarnya bermula. 


Dan gue rasa, Jalan-Jalan Men mengajak kamu untuk melihat dasar kehidupan paling sederhana.

Selesai nonton, gue sempet merenung selama dua puluh menit. Thinking mistakes, fixing mistakes.

So, kalian mau lihat seberapa jauh perbedaannya?

Sumutpos.com
http://www.indonesiamatters.com/271/traditions-clash/


***

"Kita selalu bisa memilih, dan selalu punya pilihan."

6 comments: