Agamaku Mayoritas, Tapi Bukan Prioritas

4 comments
When thousands of people are protesting a good man & try every way possible to get him jailed, you know your country is fucked. - Sonia Eryka
Kita sesama manusia, satu sama lain, pada hakikatnya ada setara. Tapi kalo udah soal SARA, well ini adalah masalah/pembahasan dalam topik lain. Karena ada negara lain yang masih sibuk memperdebatkan hal tersebut, sementara kita; negeri yang sedari lahir kaya akan keberagaman HARUSNYA udah melewati fase tersebut.

Jika agama merupakan suatu sumber kehidupanmu, the sparks of your life, the very soul that driven you through the day, ya sudah. Cukup sampe situ.

Tapi ketahuilah, gak semua orang beriman punya life-sparks atau sumber kehidupan yang sama. Nggak selalu agama yang membuat dirinya terus bergairah menjalani hidup.

Ada kecintaan terhadap keluarga, kepedulian antar sesama manusia (philantropist contohnya), bahkan kecintaan terhadap makanan, atau pun hal lainnya. Yang istilahnya kalo sesuatu tersebut hilang, lenyap sudah gairahnya untuk hidup sebagai manusia.

Hal barusan, bisa berjalan berdampingan dan beriringan. Tapi entah kenapa kamu liatnya beda aja gitu. Diwolak-walik. Yang padahal pada dasarnya, sebenernya sama. 

Nah, gimana kalo ternyata sumber kehidupan kamu (abis yang paling gampang dan dekat karena saya jarang baca dan kurang luas pergaulannya hehehe) adalah agama?

Wah ya sah-sah aja dong!

But, surprise! Gak semua orang kayak kamu. Terima fakta dan harusnya kamu stop memaksa. Expand! Atau kalo perlu ganti circle pertemanan kamu, buka mata dan pindah dari kerumun-cuapan gang sempit yang bikin kamu ngerasa eksklusif tanpa sebab dari hingar-bingar dunia luar.

Ibarat agama adalah sepatu, kamu gak bisa maksain orang pake sepatu dengan cara yang sama seperti kamu hanya karena mereknya sama. Wow ini kan soal pengalaman spiritual. Spiritual means hanya kamu dan Tuhan yang tau. Orang gue gak ngalamin, kok maksa sih?

Please, stop memaksa hanya karena kamu jarang baca.

Masih inget PPKn bab satu jamanku dulu judulnya "Tenggang rasa". Dengan kata lain: Manusia gak cuma kamu doang, buanyak dan beragam. Belajarlah menerima.

Even, orang gila aja gak sampe bernyali mengganggu kehidupan orang lain meski dia beranggapan bahwa dunia emang udah gila. At least, dia gak memaksakan orang lain buat jadi sama gilanya dengan dia.

Dari sini
Harapanku?

Oh please. Tolonglah stop membuat suatu perkumpulan, paguyuban, atau organisasi massa yang isinya cuma kuantiti-tanpa-kualiti-tanpa-edukasi.

Atau organisasi yang berkumpul sekedar untuk menyibukkan diri; gak ada kerjaan. Sebuah paguyuban betah nganggur. Sebuah kelompok konyol bersumbu pendek. Sebuah ormas nasi kotak. Sebuah massa-manut-habib.

Atau terlebih lagi, organisasi tempat di mana berkumpulnya orang-orang yang diberi kebebasan dan keleluasaan untuk selalu menebar kebencian atas nama intoleransi dan mayoritas agama.

Karena sebenarnya mereka merasa invisible.

Mayoritas dalam wujud minoritas, tersisih dan tersingkir ke pinggir. Kalap ingin dihormati, lantas menggunakan kekerasan agar didengar. Karena jauh di dalam hati kecil mereka:
"Tolong, saya cuma ingin didengarkan, saya ingin diakui", 
Sayangnya, akibat bahan bacaan yang kurang berimbang dan minim metode beraspirasi, serta keblinger digerus pertumbuhan generasi. Sesungguhnya mereka gagal dan lucunya merasa kebal.
via Vice.com
Agamaku mungkin mayoritas, tapi bukan prioritas. Dan kutipan berikut, bisa dipahami tanpa harus sekolah tinggi-tinggi:
Jadi manusia (terlebih dulu selalu) lebih penting daripada sekedar jadi umat.
Karena Islam yang kutahu, bukan pemburu darah, penyulut amarah, serta berisik sampai bikin gerah. Islam yang kutahu adalah yang damai, berlimpah kemudahan dan pemaaf.



4 comments:

  1. Very well said mas..duh ini pesan untuk anak negeri mas..miris melihat situasi yang ada saat ini. Jadi manusia (terlebih dulu selalu) lebih penting daripada sekedar jadi umat.

    ReplyDelete